MAKALAH
Syarat
Rukun Nikah Menurut Hukum Islam dan UUD
Disusun guna memenuhi tugas
mata kuliah Fiqh
Dosen Pengampu : Asep
Dadang Abdullah, M.ag
Disusun oleh :
1.
Fahim Abdur
Rohman (111211027)
FAKULTAS
DAKWAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
I.
Pendahuluan
Perkawinan
dalam islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak keperdataan
biasa, akan tetapi ia mempunyai nilai ibadah. Maka, amatlah tepat jika
kompilasi menegaskannya sebagai akad yang sangat kuat (miitsaqom gholiidhan)
untuk menaati perintah Allah, dan melaksanakanya merupakan ibadah.
Perkawinan
merupakan wadah penyaluran biologis manusia yang wajar, dan dalam ajaran Nabi,
perkawinan ditradisikan menjadi sunnah beliau. Karena itulah, perkawinan yang
syrat nilai bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah
mawaddah dan rohmah, perlu diatur dengan syarat dan rukun tertentu, agar tujuan
disyariatkanya perkawinan tercapai.[1]
Untuk
memperoleh gambaran yang jelas mengenai syarat dan rukun perkawinan menurut
hukum islam dan undang-undang negara Indonesia, akan dijelaskan selanjtutnya.
II.
Rumusan Masalah
1.
Definisi Tentang Perkawinan
2.
Hukum
Perkawinan
3.
Syarat
dan rukun perkawinan menurut hukum Islam
4.
Syarat
dan rukun perkawinan menurut undang-undang negara
5.
Peminangan
III.
Pembahasan
A.
Definisi Tentang Perkawinan
1.
Perkawinan menurut Hukum Islam
Perkawinan
dalam bahasa Indonesia berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya
membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau
bersetubuh. Perkawinan disebut juga pernikahan, berasal dari kata nikah yang
menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, yaitu digunakan untuk
arti bersetubuh.
Menurut istilah
seperti yang didefinisikan oleh Abu Yahya Zakariya Al-Anshary nikah menurut
syara’ ialah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual
degan lafadz nikah atau dengan kata-kata yang semaknanya.[2]
Perkawinan
menurut Islam ialah suatu perjanjian suci yang kuat dan kokoh untuk hidup
bersama secara sah antara seorang laki-laki dan perempuan membentuk keluarga
yang kekal, santun menyantuni kasih mengasihi aman bahagia dan kekal.
Perkawinan
dalam islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontarak keberdataan
biasa, akan tetapi akan ia mempunyai nilai ibadah. Maka, amatlah tepat jika
kompilasi menegaskannya sebagai akad yang sangat kuat (miitsaqan gholiidhan)
untuk menaati perintah allah, dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Perkawinan
merupakan wadah penyaluran kebutuhan biologis manusia yang wajar, dan dalam
ajaran nabi, perkawinan diperjadikan menjadi sunnah beliau.[3]
2. Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1,
Perkawinan adalah “Ikatan lahir bathin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”
Pengertian perkawinan terdapat lima unsur di dalamnya adalah sebagai
berikut :
a. Ikatan lahir bathin.
b. Antara seorang pria dengan seorang wanita.
c. Sebagai suami isteri.
d. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal.
e. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1
merumuskan bahwa ikatan suami isteri berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,
perkawinan merupakan perikatan yang suci. Perikatan tidak dapat melepaskan dari
agama yang dianut suami isteri.[4]
B.
Hukum Perkawinan
Tentang hukum
melaksanakan perkawinan, Ibnu Rasyid menjelaskan segolongan fuqaha, yaitu
jumhur (mayoritas Ulama) berpendapat bahwa nikah itu hukumnya sunnah. Golongan
Zahiriyyah berpendapat bahwa nikah itu hukumnya wajib. Para ulama malikiyah
mutaakhkhirin berpendapat bahwa nikah itu hukumnya wajib bagi sebagian orang,
sunnah bagi sebagian yang lainnya, dan mubah bagi segolongan yang lain.
Dikatakan wajib
bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk kawin dan
dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan yang zina seandainya tidak kawin.
Dikatakan sunnat bagi orang-orang yang telah yang telah mempunyai kemauan dan
kemampuan untuk melangsungkan perkawinan, tetapi kalau tidak dikhawatirkan
berbuat zina. Dikatakan haram apabila orang tidak mempunyai keinginan dan tidak
mempunyai kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban berumah
tangga. Apabila melangsungkan perkawinan terlantarlah istri dan dirinya.
Dikatakan makruh bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melaksanakan
perkawinan juga cukup untuk mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga
tidak memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina sekiranya tidak kawin. Dan
dikatakan mubah bagi orang yang mempunyai kemampuan melaksanakan pernikahan
tetapi apabila tidak melaksanakanya tidak khawatir akan berbuat zina dan
apabila melakukanya juga tidak aan menelantarkan istri.[5]
C.
Syarat dan rukun perkawinan menurut hukum islam
Untuk
memperoleh gambaran yang jelas mengenai syarat dan rukun perkawinan menurut
hukum islam, akan dijelaskan beruikut.
Syarat-syarat perkawinan mengikuti rukun-rukunnya, seperti
dikemukakan kholil Rahman :
a)
Calon
mempelai pria, syarat-syaratnya :
1.
Beragama
islam
2.
Laki-laki
3.
Jelas
orangnya
4.
Dapat
memberikan persetujuan
5.
Tidak
terdapat halangan perkawinan
b)
Calon mempelai wanita
1.
Beragama,
meskipun Yahudi atau Nasrani
2.
Perempuan
3.
Jelas
orangnya
4.
Dapat
dimintai persetujuannya
5.
Tidak
terdapat ha;langan perkawinan
c)
Wali nikah, syarat-syaratnya
1.
Laki-laki
2.
Dewasa
3.
Mempunyai
hak perwakilan
4.
Tidak
terdapat halangan perwaliannya
d)
Saksi nikah, syarat-syratnya
1.
Minimal
dua orang laki-laki
2.
Hadir
dalam ijab qabul
3.
Dapat
mengerti maksud akad
4.
Islam
5.
Dewasa
e)
Ijab qabul, syarat-syaratnya
1.
Adanya
pernyataan mengawinkan dari wali
2.
Adanya
pernyataan penerimaan dari calon mempelaipria
3.
Memakai
kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kata nikah atau tazwij
4.
Antara
ijab dan qabul bersinambungan
5.
Antara
ijab dan qabul jelas maksudnya
6.
Orang
yang berkait dengan ijab qabul tidak dalam sedang ihram haji/umroh
7.
Majelis
ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu, calon mempelai
pria atau wakilnya, wali dari mempelai wanita atau wakilnya, dan dua orang
saksi.
Rukun dan
syarat-syarat perkawinan tersebut diatas wajib dipenuhi, apabila tidak
terpenuhi maka perkawinan yang dilangsungkannya tidak sah.
D.
Syarat dan rukun perkawinan menurut undang-undang negara
Undang-undang Perkawinan mengatur syarat-syarat perkawinan dalam
BAB II pasal 6 :
1.
Perkawinan
harus didasarkan persetujuan kedua calon mempelai.
2.
Untuk
melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus
mendapat izin kedua orang tuanya.
3.
Dalam
hal seorang salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin dimaksud ayat (2) pasal
ini cukup diperoleh dari orang tua yang masi hidup atau dari orang tua yang
mampu menyatakan kehendaknya.
4.
Dalam
hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu
menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara
atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas
selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5.
Dalam
hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3),
dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak
menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang
yang melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberi izin
setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan
(4) dalam pasal ini.
6.
Ketentuan
tersebut ayat (1) samapai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan
lain.[6]
E.
Peminangan
Peminangan adalah langkah awal menuju perjodohan
antara antara seorang pria dengan seorang wanita, peminangan juga yaitu upaya
yang dilakukan oleh pihak laki-laki atau pihak perempuan ke arah terjadinya
hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita denga cara-cara
yang baik (ma’ruf)(Pasal 1 bab 1 huruf a KHI).
Sedangkan dalam kompilasi Hukum Islam yang dimaksud dengan Peminangan
adalah kegiatan-kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang
pris dengan seorang wanita.
Kata “peminangan” berasal dari kata “pinang”, meminang
(kata kerja) yang mempunyai sinonim dengan kata melamar yang dalam bahasa Arab
disebut khithbah. Secara etimologi, meminang atau melamar mempunyai
arti; “meminta wanita untuk dijadikan isteri (bagi diri sendiri atau orang
lain)”Secara terminologi, peminangan ialah: “Kegiatan upaya ke arah terjadinya
hubungan perjodohan antara seorang pria dengan wanita”, atau “seorang laki-laki
meminta-meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi isterinya, dengan
cara-cara yang sudah umum berlaku di tengah-tengah masyarakat”.
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa yang dimaksud
dengan peminangan adalah upaya seorang laki-laki atau wakilnya meminta kepada
pihak perempuan yang bukan mahramnya untuk dijadikan isterinya, dengan cara
tertentu yang telah berlaku di tengah-tengah masyarakat.
Seorang perempuan boleh dipinang apabila memenuhi dua
syarat, yaitu:
a. Pada waktu dipinang tidak ada
halangan-halangan hukum yang melarang dilangsungkannya perkawinan.
b. Belum dipinang orang lain secara sah.
Status hukum meminang menurut jumhur ulama fiqh adalah
sunat (tidak wajib). Akan tetapi, Daud al Dhahiri menyebutkan wajib. Silang
pendapat ini disebabkan, apakah perbuatan Rasulullah SAW yang berkenaan dengan
masalah meminang diartikan wajib atau sunat. Namun demikian, bila melihat
kepada bentuk lafal yang berhubungan dengan masalah meminang, baik yang
terdapat dalam al-Quran maupun Hadits, tidak ditemukan lafal perintah yang akan
melahirkan hukum wajib.
Sebagaimana kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
“Pada dasarnya amar (perintah) itu
menunjukkan (arti) wajib, dan tidak menunjukkan kepada (arti) selain wajib
kecuali terdapat qarinah-nya”. Beragumentasi kepada kaidah ushuliyah di
atas, dapat ditegaskan bahwa hukum meminang hanyalah sunat. Karena perbuatan
tersebut merupakan ketetapan Allah dan Rasul yang tidak dalam bentuk perintah.[7]
IV.
Kesimpulan
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum,
terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi
hukum. Syarat itu ada yang berkaitan dengan rukun dalam arti syarat yang
berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Ada pula syarat itu berdiri
sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur hukum.
Dalam pandangan islam di samping perkawinan itu
sebagai perbuatan ibadah, ia juga merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul.
Dengan melihat kepada hakekat perkawinan itu merupakan akad yang memperbolehkan
laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak dibolehkan,
maka dapat dikatakan bahwa hukum asal dari perkawinan itu adalah boleh atau
mubah.
Peminangan adalah langkah awal menuju perjodohan
antara antara seorang pria dengan seorang wanita, peminangan juga yaitu upaya
yang dilakukan oleh pihak laki-laki atau pihak perempuan ke arah terjadinya
hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita denga cara-cara
yang baik
V.
Penutup
Demikianlah makalah yang dapat kami
sampaikan, kami sadar makalah ini masih kurang dari kesempurnaan. Jika
ada kesalahan dan kekurangan, itu dikarenakan keterbatasan pengetahuan kami.
Maka dari itu, kritik dan saran sangat kami butuhkan demi kesempurnaan makalah
ini.
Daftar Pustaka
Pasal 1 undang-undang 1974 tentang Perkawinan
Rofiq Ahmad.
Hukum Islam di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada : Jakarta. 1995
Ghozali, abdul rahman. Fiqh munakahat, Prenada media group : Jakarta. 2003
oke gan
BalasHapus