Sabtu, 08 Desember 2012

Mati Gaya

Mati Gaya

Glenyengan
Ini adalah istilah kontemporer bahasa Indonesia, yang belakangan sering dilemparkan dalam percakapan, dan oleh karenanya juga bertebaran di iklan-iklan. Mati gaya adalah istilah gaul yang bisa diartikan sebagai situasi pada sesorang dimana ia sedang kehilangan ide, kering inspirasi, "garing", atau kehilangan sentuhan kreatif sehingga orang tersebut akan melakukan hal-hal yang konyol atau bahkan tidak dapat melakukan apapun.

Pada dasarnya bahasa adalah sesuatu yang hidup. Tapi gerak hidup sebuah bahasa sangat tergantung pada gerak hidup masyarakat penggunanya. Penggunanyalah yang dapat menemukan, menggali, menciptakan bahasa: diantaranya adalah memperkaya kosakata. Bangsa Indonesia termasuk bangsa yang kreatif. Sastra atau bukan sastra, bahasa adalah bahasa. Bahasa punya kehidupannya sendiri, bahasa tidak selalu hanya sebagai alat mengantarkan makna. Bahasa bahkan bisa subversif atas keberadaannya sendiri.

Bahasa Indonesia menurut sejarah adalah bahasa pergaulan. Dasarnya memang dari bahasa Melayu. Tapi bahasa Indonesia menunjukkan keterbukaan dan dinamika yang lebih dahsyat dari sekedar lingua franca bahasa Melayu. Inovasi-inovasi canggih biasanya berasal dari wilayah sastra dan ilmu pengetahuan. Inovasi-inovasi tersebut diantaranya adalah mengubah akronim yang dulunya berasal dari bahasa asing menjadi bahasa Indonesia dengan tanpa mengubah bunyinya. Misal: ATM yang berasal dari automated teller machine, yang berarti mesin pembayar otomatis, menjadi Anjungan Tunai Mandiri. Ini brilian menurut saya.

Ilmu pengetahuan meski memberikan andil pengayaan bahasa Indonesia juga subversif. Karena menyerap secara luarbiasa jumlah kata ambilan dari bahasa asing. Terkadang seseorang merasa tak dapat mengantarkan makna yang tepat dalam bahasa Indonesianya, sehingga mencomot begitu saja dari bahasa asing.

Dari wilayah kebudayaan, sebagaimana sejarahnya bahasa Indonesia dimulai dari bahasa pergaulan, sehingga juga terbuka terhadap bahasa-bahasa daerah. Ada puluhan bahkan mungkin ratusan bahasa daerah di Republik Indonesia. Jadi bahasa daerah juga merupakan unsur pembangun bahasa Indonesia. Pada masa pergerakan sampai revolusi kemerdekaan Indonesia, bahasa Indonesia sangat kaya dengan istilah-istilah dari suku-suku yang dominan budayanya di Indonesia, seperti Minang, Jawa dan Melayu. Pada masa orde baru yang pemerintahannya sangat paternalistik Jawa, bahasa Jawa menjadi amat sangat dominan. Hingga perlawanan terhadap dominasi itu hanya tersisa dari wilayah kreatif seni. Lalu era reformasi satu dekade lalu mengubahnya, sekarang bahasa Indonesia seolah menemukan hidupnya lagi.

Istilah-istilah baru, penafsiran-penafsiran baru bertebaran. Tak hanya dari wilayah sastra, tapi juga dari pergaulan sehari-hari dan ilmu pengetahuan. Bahasa resmi, meski agak berkurang, tapi masih sangat menjemukan. Bahasa pejabat negara, bahasa orang parlemen, dan saat ini bahasa kampanye pemilu, adalah contoh-contoh penggunaan bahasa Indonesia yang menjemukan. Bahasa resmi terbaik adalah bahasa pemberitaan televisi, menurut saya. Penulisnya berusaha menjaga bahasa untuk tak bersifat ambigu, dan hanya mengantarkan makna seperti yang kita dengarkan.

Bahasa pergaulan berjalan dengan istilah dan penemuannya sendiri. Istilah-istilah seperti "ngabuburit" untuk membunuh waktu menjelang buka puasa, penafsiran baru pada kata "secara", bahasa-bahasa sms dan instant messaging yang bahkan menggunakan tanda-tanda bahasa, bukan hanya huruf. Ahli bahasa suka banyak protes soal ini, menuduh ini adalah perusakan. Menurut saya, bahasa adalah makhluk hidup tersendiri. Itu tak selalu terjadi dari penggunanya. Penggunanya orang per orang bukan yang memberikan kehidupan itu. Bahasa hidup bersama keberadaan sebuah bangsa. Bahasa adalah tanda, setiap unsurnya juga tanda. Huruf, tanda baca dan apapun yang menjadi bagian dari bahasa bisa menjadi alat mengantarkan makna. Jika tak cukup, orang bahkan menggunakan tanda-tanda lain di luar alfabet dan tanda-tanda bacanya ketika berkomunikasi.

Menurut saya bahasa disubversi lebih kuat oleh kekuasaan, bukan oleh teknologi atau pergaulan umum. Kekuasaan represif seperti pada era orde baru adalah contohnya. Bahasa dimaknai oleh kekuasaan, hanya penguasa yang berhak mendominasi makna sebuah bahasa. Mereka bebas memberi penafsiran atas bahasa yang mereka gunakan. Bahasa memang alat menyampaikan makna, tapi tidak berdasar kesepakatan dengan pihak lain.

Mejelang pemilu Indonesia April 2009 ini, bahasa juga tak lepas dari hal itu. Kampanye-kampanye di Radio, TV, pamflet, selebaran dll mensubversi bahasa dengan cara yang degil. Bahasa bahkan kehilangan makna. Karena sebagian besar masyarakat lantas mengerti, apapun yang dibunyikan dalam kampanye, sebenarnya tak berarti apa-apa. Maknanya kosong atau nihil. Nihilnya makna itu barangkali akan melahirkan gejala lain berupa apatisme umum. Setelah terbukanya borok-borok KKN para wakil rakyat, para calon anggota perlemen baru nanti, para petinggi partai seolah "mati gaya". Bahasanya begitu miskin, menyedihkan dan lucnya lagi mereka merasa seolah mewakili orang-orang lain. Tak satupun pada pamflet pemilu di jalanan yang menuliskan program apa yang hendak diperjuangkan. Kampanye di TV menjemukan, iklan partai sama seperti iklan sabun dan pasta gigi. Segalanya masih berarti untuk demokrasi, tapi tak bermakna apa-apa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar