Sabtu, 08 Desember 2012

Syarat Rukun Nikah Menurut Hukum Islam dan UUD



MAKALAH
Syarat Rukun Nikah Menurut Hukum Islam dan UUD
Disusun guna memenuhi tugas
mata kuliah Fiqh
Dosen Pengampu :  Asep Dadang Abdullah, M.ag










Disusun oleh :
1.     Fahim Abdur Rohman             (111211027)



FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012


I.        Pendahuluan
Perkawinan dalam islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak keperdataan biasa, akan tetapi ia mempunyai nilai ibadah. Maka, amatlah tepat jika kompilasi menegaskannya sebagai akad yang sangat kuat (miitsaqom gholiidhan) untuk menaati perintah Allah, dan melaksanakanya merupakan ibadah.
Perkawinan merupakan wadah penyaluran biologis manusia yang wajar, dan dalam ajaran Nabi, perkawinan ditradisikan menjadi sunnah beliau. Karena itulah, perkawinan yang syrat nilai bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah dan rohmah, perlu diatur dengan syarat dan rukun tertentu, agar tujuan disyariatkanya perkawinan tercapai.[1]
Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai syarat dan rukun perkawinan menurut hukum islam dan undang-undang negara Indonesia, akan dijelaskan selanjtutnya.
II.        Rumusan Masalah
1.     Definisi  Tentang Perkawinan
2.     Hukum Perkawinan
3.     Syarat dan rukun perkawinan menurut hukum Islam
4.     Syarat dan rukun perkawinan menurut undang-undang negara
5.     Peminangan









III.        Pembahasan
A.    Definisi Tentang Perkawinan
1.     Perkawinan menurut Hukum Islam
Perkawinan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Perkawinan disebut juga pernikahan, berasal dari kata nikah yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, yaitu digunakan untuk arti bersetubuh.
Menurut istilah seperti yang didefinisikan oleh Abu Yahya Zakariya Al-Anshary nikah menurut syara’ ialah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual degan lafadz nikah atau dengan kata-kata yang semaknanya.[2]
Perkawinan menurut Islam ialah suatu perjanjian suci yang kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dan perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni kasih mengasihi aman bahagia dan kekal.
Perkawinan dalam islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontarak keberdataan biasa, akan tetapi akan ia mempunyai nilai ibadah. Maka, amatlah tepat jika kompilasi menegaskannya sebagai akad yang sangat kuat (miitsaqan gholiidhan) untuk menaati perintah allah, dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Perkawinan merupakan wadah penyaluran kebutuhan biologis manusia yang wajar, dan dalam ajaran nabi, perkawinan diperjadikan menjadi sunnah beliau.[3]
2.     Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1, Perkawinan adalah  “Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Pengertian perkawinan terdapat lima unsur di dalamnya adalah sebagai berikut :
a. Ikatan lahir bathin.
b. Antara seorang pria dengan seorang wanita.
c. Sebagai suami isteri.
d. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal.
e. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 merumuskan bahwa ikatan suami isteri berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, perkawinan merupakan perikatan yang suci. Perikatan tidak dapat melepaskan dari agama yang dianut suami isteri.[4]
B.    Hukum Perkawinan
Tentang hukum melaksanakan perkawinan, Ibnu Rasyid menjelaskan segolongan fuqaha, yaitu jumhur (mayoritas Ulama) berpendapat bahwa nikah itu hukumnya sunnah. Golongan Zahiriyyah berpendapat bahwa nikah itu hukumnya wajib. Para ulama malikiyah mutaakhkhirin berpendapat bahwa nikah itu hukumnya wajib bagi sebagian orang, sunnah bagi sebagian yang lainnya, dan mubah bagi segolongan yang lain.
Dikatakan wajib bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk kawin dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan yang zina seandainya tidak kawin. Dikatakan sunnat bagi orang-orang yang telah yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan perkawinan, tetapi kalau tidak dikhawatirkan berbuat zina. Dikatakan haram apabila orang tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban berumah tangga. Apabila melangsungkan perkawinan terlantarlah istri dan dirinya. Dikatakan makruh bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melaksanakan perkawinan juga cukup untuk mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina sekiranya tidak kawin. Dan dikatakan mubah bagi orang yang mempunyai kemampuan melaksanakan pernikahan tetapi apabila tidak melaksanakanya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila melakukanya juga tidak aan menelantarkan istri.[5]

C.    Syarat dan rukun perkawinan menurut hukum islam
Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai syarat dan rukun perkawinan menurut hukum islam, akan dijelaskan beruikut.
Syarat-syarat perkawinan mengikuti rukun-rukunnya, seperti dikemukakan kholil Rahman :
a)     Calon mempelai pria, syarat-syaratnya :
1.     Beragama islam
2.     Laki-laki
3.     Jelas orangnya
4.     Dapat memberikan persetujuan
5.     Tidak terdapat halangan perkawinan
b)     Calon mempelai wanita
1.     Beragama, meskipun Yahudi atau Nasrani
2.     Perempuan
3.     Jelas orangnya
4.     Dapat dimintai persetujuannya
5.     Tidak terdapat ha;langan perkawinan
c)     Wali nikah, syarat-syaratnya
1.     Laki-laki
2.     Dewasa
3.     Mempunyai hak perwakilan
4.     Tidak terdapat halangan perwaliannya
d)     Saksi nikah, syarat-syratnya
1.     Minimal dua orang laki-laki
2.     Hadir dalam ijab qabul
3.     Dapat mengerti maksud akad
4.     Islam
5.     Dewasa
e)     Ijab qabul, syarat-syaratnya
1.     Adanya pernyataan mengawinkan dari wali
2.     Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelaipria
3.     Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kata nikah atau tazwij
4.     Antara ijab dan qabul bersinambungan
5.     Antara ijab dan qabul jelas maksudnya
6.     Orang yang berkait dengan ijab qabul tidak dalam sedang ihram haji/umroh
7.     Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu, calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari mempelai wanita atau wakilnya, dan dua orang saksi.
Rukun dan syarat-syarat perkawinan tersebut diatas wajib dipenuhi, apabila tidak terpenuhi maka perkawinan yang dilangsungkannya tidak sah.
D.    Syarat dan rukun perkawinan menurut undang-undang negara
Undang-undang Perkawinan mengatur syarat-syarat perkawinan dalam BAB II pasal 6 :
1.     Perkawinan harus didasarkan persetujuan kedua calon mempelai.
2.     Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tuanya.
3.     Dalam hal seorang salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masi hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4.     Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5.     Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberi izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) dalam pasal ini.
6.     Ketentuan tersebut ayat (1) samapai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.[6]
E.    Peminangan
Peminangan adalah langkah awal menuju perjodohan antara antara seorang pria dengan seorang wanita, peminangan juga yaitu upaya yang dilakukan oleh pihak laki-laki atau pihak perempuan ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita denga cara-cara yang baik (ma’ruf)(Pasal 1 bab 1 huruf a KHI).
Sedangkan dalam kompilasi Hukum Islam yang dimaksud dengan Peminangan adalah kegiatan-kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pris dengan seorang wanita.
Kata “peminangan” berasal dari kata “pinang”, meminang (kata kerja) yang mempunyai sinonim dengan kata melamar yang dalam bahasa Arab disebut khithbah. Secara etimologi, meminang atau melamar mempunyai arti; “meminta wanita untuk dijadikan isteri (bagi diri sendiri atau orang lain)”Secara terminologi, peminangan ialah: “Kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan wanita”, atau “seorang laki-laki meminta-meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi isterinya, dengan cara-cara yang sudah umum berlaku di tengah-tengah masyarakat”.
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan peminangan adalah upaya seorang laki-laki atau wakilnya meminta kepada pihak perempuan yang bukan mahramnya untuk dijadikan isterinya, dengan cara tertentu yang telah berlaku di tengah-tengah masyarakat.
Seorang perempuan boleh dipinang apabila memenuhi dua syarat, yaitu:
a. Pada waktu dipinang tidak ada halangan-halangan hukum yang melarang dilangsungkannya perkawinan.
b. Belum dipinang orang lain secara sah.
Status hukum meminang menurut jumhur ulama fiqh adalah sunat (tidak wajib). Akan tetapi, Daud al Dhahiri menyebutkan wajib. Silang pendapat ini disebabkan, apakah perbuatan Rasulullah SAW yang berkenaan dengan masalah meminang diartikan wajib atau sunat. Namun demikian, bila melihat kepada bentuk lafal yang berhubungan dengan masalah meminang, baik yang terdapat dalam al-Quran maupun Hadits, tidak ditemukan lafal perintah yang akan melahirkan hukum wajib.
Sebagaimana kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
“Pada dasarnya amar (perintah) itu menunjukkan (arti) wajib, dan tidak menunjukkan kepada (arti) selain wajib kecuali terdapat qarinah-nya”. Beragumentasi kepada kaidah ushuliyah di atas, dapat ditegaskan bahwa hukum meminang hanyalah sunat. Karena perbuatan tersebut merupakan ketetapan Allah dan Rasul yang tidak dalam bentuk perintah.[7]
IV.        Kesimpulan
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Syarat itu ada yang berkaitan dengan rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Ada pula syarat itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur hukum. 
Dalam pandangan islam di samping perkawinan itu sebagai perbuatan ibadah, ia juga merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul. Dengan melihat kepada hakekat perkawinan itu merupakan akad yang memperbolehkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak dibolehkan, maka dapat dikatakan bahwa hukum asal dari perkawinan itu adalah boleh atau mubah.
Peminangan adalah langkah awal menuju perjodohan antara antara seorang pria dengan seorang wanita, peminangan juga yaitu upaya yang dilakukan oleh pihak laki-laki atau pihak perempuan ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita denga cara-cara yang baik
V.        Penutup
Demikianlah makalah yang dapat kami  sampaikan, kami sadar makalah ini masih kurang dari kesempurnaan. Jika ada kesalahan dan kekurangan, itu dikarenakan keterbatasan pengetahuan kami. Maka dari itu, kritik dan saran sangat kami butuhkan demi kesempurnaan makalah ini.


Daftar Pustaka
Pasal 1 undang-undang 1974 tentang Perkawinan
Rofiq Ahmad. Hukum Islam di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada : Jakarta. 1995
Ghozali, abdul rahman. Fiqh munakahat, Prenada media group : Jakarta. 2003



[2] Abdul rahman ghozali. Fiqh munakhahat. Prenada media group, 2003.hal. 9
[3] Ahmad rofiq. Hukum Islam di Indonesia. PT RajaGrafindo Persada, 1995.hal 69-110
[4] Pasal 1 undang-undang 1974 tentang Perkawinan
[5] Ibid., Hal 16-21
[6] Ibid., Hal 70-73

1 komentar: