Minggu, 09 Desember 2012

Tong Sampah

Aku hanya tong sampah. Tempat kamu membuang resah, gelisah dan gundah. Aku hanya tong sampah, tempat kamu melempar segala yang tak guna. Luapan rasa sisa yang tak kamu pakai lagi. Barang-barang yang kamu campakkan kau jejalkan dalam mulutku. Diriku. Kamu puas mampu membuang segala yang kau rasa tak perlu dan memerlukan lagi. Meski terkadang kamu pungut lagi, kamu kreasi, guntingi, tapi sisa-sisa itu akhrinya hanya bermuara lagi di mulutku. Kau sumpal lagi mulutku dengan tinja akalmu.
Kamu tak mau peduli sedikitpun tentangku. Ya tentang diriku, walau sebentar, aku juga sesekali ingin menjadikanmu tong sampah. Agar kau tahu nikmat dan dukanya tong sampah. Memberimu pembelajaran tentang tong sampah yang tampak hina dan dihinakan. Agar engkau tahu makna kemuliaan, kebermaknaan. Menghargai setiap yang ‘ada’ dan tak ‘ada’, tidak sewenang-wenang mencampakkan hal yang remeh temeh. Asal melempar, menaruh dan menjejalkan yang tak kau suka dalam wadah yang kau agap layak sebut ‘tempat sampah’.
Sebenarnya aku tidak bercita-cita, memimpikan menjadi tong sampahmu. Perlu kau tahu, sebenarnya cita-citaku amatlah mulia dalam hidupmu. Aku ingin jadi cermin. Ya cermin. Yang setiap waktu bisa menikmati setiap lekuk wajahmu, hitamnya bola matamu, eloknya bibirmu dan masih banyak yang ku impikan tentang dirimu. Tentang kecantikanmu, keindahan senyummu setiap bangun dan mandimu bersama wanginya parfum yang kamu tebarkan di setiap inci tubuhmu. Aku juga ingin, sesekali menikmati kesendirianmu, hanya ada aku dan kamu, dalam satu ruang dalam kamar tidurmu. Merindukanmu, melihat kemolekan ragamu dalam temaram lampu kamar. Karena aku yakin, kamu lebih ayu dalam tidurmu, lebih menawan dibanding saat kamu berhias dengan segala merk alat kecantikan. Dalam tidurmu, kamu simpan kejujuran dan kesederhanaan. Saat tidurmulah kamu buka rahasia-rahasia yang selama ini kamu tutupi. Aku ingin menjadi tempatmu bertanya perihal kecantikan. Aku akan jujur menjawab pertanyaanmu: kamu lah yang cantik dan tercantik, meski di ruangan itu berderet-deret wanita-wanita cantik, kamu yang tetap cantik di mata diriku. Karena aku telah terpesona olehmu. Karena aku telah mengintip tidurmu, mengintip kesejatian dirimu. Ya..aku ingin jadi cermin hiasmu meski hanya secuil.
Hingga suatu saat aku memasang dada dan mengatakan padamu: “aku siap jadi tong sampahmu!”. Aku tak tega melihatmu kebingungan mencari-cari tempat pembuangan limbah. Mencari wadah yang sekiranya dapat memuaskan hatimu yang kesal. Membuang gumpalan kertas-kertas cintamu yang tak kunjung mendapat balasan. Kasihmu terlalu jauh dari tempatmu, sedangkan rangkain kata kerinduanmu tak mampu menghadirkannya dalam sekejap. Kamu terus bergumam kesal, meski aku tahu sebenarnya kamu sangat kangen sekali. Andaikan pulau dapat kamu tekuk, pasti akan kamu lakukan. Andaikan air laut dapat kamu keringkan, pasti sudah kamu keringkan. Andaikan kamu menggenggam tongkatnya Musa, aku yakin malam itu, seketika itu pula kamu belah Lautan Jawa dan kamu berlari ke seberang sana. Dan tentunya kamu tidak repot-repot menyulam kata syahdu hanya untuk meluluhkan hatinya agar dia datang menjengukmu. Dan aku sendiri tak usah repot menjadi tong sampah, tentunya.
Tapi kepastian Tuhan berlaku saat itu: kamu si cantik yang merindukan kekasih dan aku menjadi tong sampahmu. Hari-hari pertama menjadi tong sampah sungguh kikuk, susah. Meski baru tapi ada rasa ke-engganan yang menyeruak dalam diriku. Ada kerentek ati, untuk menolak dan menjabut kesanggupanku. Ada semacam ingin menyalahkanmu. Menyalahkan kebodohanmu mencintai orang yang tinggal jauh darimu. Menyalahkan atas ketolalanmu merindukan sesuatu yang terhalang jarak. Bukankah aku sanggup menggantikannya. Aku juga laki-laki yang bisa mencintai dan dicintai. Namun akhirnya ku sadari bahwa urusan mencintai dan dicintai bukan sekedar laki-laki atau perempuan saja tetapi apakah dia benar-benar ‘laki-laki’ atau ‘perempuan’. Karena terlalu banyak laki-laki yang tidak bisa menjalani kelaki-lakian, tidak bisa menikmati keperempuanannya.
Hari-hari pertama kamu menaruhku dekat kakimu, dekat meja kerjamu, dekat dengan lembut sentuhan lembut tanganmu. Berada dalam ruangan yang selalu kamu katakan sebagai keputren, tempat terlarang yang tak boleh setiap laki-laki berkeliaran di tempatmu. Aku bangga, hanya aku yang bisa mengintipmu, menemani dalam lamunanmu. Kamu pun memperlakukanku begitu istemewa, hanya kertas-kerta cinta yang kamu gagal telurkan saja yang kamu lempar padaku. Begitu lembut kamu lempar, hingga aku sendiri menikmati lemparan itu, menganggapnya sebagai sentuhan tanganmu yang putih dan lembut. Aku tak sadar kalau aku sekarang hanyalah tong sampah. Bagaimanapun lembutnya, istemewanya kamu memperlakukanku aku tetaplah tong sampah. Seperti tong-tong sampah yang lain, yang mempunyai definisi sama dengan tong sampah di pinggir jalan.
Hari berganti hari. Semula berjalan normal: hanya kertas cinta yang ku tampung. Suatu hari ibumu, bingung membuang sampah belanjanya, plastik-plastik pembungkus kue bermerk, botol-botol parfum yang belum habis isinya, pembalut yang telah kadaluwarsa. Ibumu bingung sebingung-bingunnya. Akhirnya ibu meminjam aku, meski dengan alasan Cuma sebentar. Kamu rela tapi aku berontak. Kamu rayu aku dengan janji-jani manismu: Cuma sehari, dia ibuku, aku adalah manifestasinya, surgaku ada di bawah kuasanya, aku harus menurut. Ok lah, aku terima. Tidak mengapa dan tak jadi apa untuk sesekali menjadi tempat sampah ‘surga’mu itu. Meski aku sebetulnya muak dengan argumen-argumen itu. Tidak ada surga dibalik ‘kakinya’, yang disimpannya tak lebih dari neraka yang menyala-nyala kerakusannya.
Engkau lupa dengan janjimu. Ternyata aku tidak kamu pinjamkan hanya sehari tetapi beberapa hari. Bahakan kini aku benar-benar jadi tempat sampah keluargamu. Mulai dari nenek sampai adik-adikmu membuang sampah padaku. Kalau dulu hanya kertas sekarang bermacam-macam barang tidak berguna masuk dan dijejalkan ke mulutku. Tidak ada pilah-pilah: mana organik mana non organik. Waton nguncalke, asal lempar. Asal muat kalian ramai-ramai memaksaku menelan kotoranmu. Nasi basi, bekas makanan binatang piaranmu pun masuk. Benar-benar tidak kamu pedulikan lagi diriku. Kucing-kucing liar menganggapku sebagai surganya. Tiap malam kucing-kucing itu yang menumpahkan isiku. Kamu marah-marah, ngomel-ngomel pada kucing-kucing yang memang lapar.
Aku tak tega melihat kucing-kucing yang kelaparan itu kalian omeli dengan berbagai dalih: mengotori lantai marmermu, mengundang tikus-tikus dan menambah pekerjaan harianmu. Tidak pernah kau sadari dan mencoba, walau hanya sekali, sadar bahwa kucing dan para tikus itu lapar dan menggunakan kesempatan dan ketololanmu memanagemen pengelolaan sampah keluargamu. Terlalu lemah sistem hukum keluargamu. Tidak ada keseriusan menjaga lingkungan rumahmu sendiri. Kalian lebih suka meyalahkan keadaan, menyalahkan liyan.
Keluargamu benar-benar tidak tahu diri. Tidak pernah bijak dalam menyikapi permasalahan. Menempatkanku di pinggir jalan, menyandingkan dengan tempat sampah-tempat sampah yang lain dianggap keputusan yang tepat. Tidak lagi dalam istanamu melainkan kamu tempatkan aku di jalanan yang ramai dengan polusi kecongkakan dan bau-bau got kerakusan. Aku tidak lagi berharga di matamu, aku tak lebih dari tong sampah yang lain. Bukan hanya keluargamu yang menjejalkan kotoranmu, melinkan siapa saja yang membutuhkan. Tidak perduli orangnya. Orang yang mabuk memuntahkan racunnya padaku, orang-orang ‘gila’ yang menganggapku WC gratis dan harus mengencingiku. Ah.. persetan sekali dengan mereka. Ora melek.
Hanya pemulung, kucing-kucing liar dan anjing-anjing tanpa majikan yang menganggap aku sebagi surganya, tuannya. Mereka menghargai keberadaanku, menghormatiku sebagai makhluk yang benar-benar eksis. Kini aku sayang mereka. Mereka lebih berarti dari pada keluargamu. Aku tak lagi menginginkan menjadi cermin hiasmu, takut suatu saat aku akan kamu hantam dengan kemarahanmu. Biarkan aku jadi tong sampah yang mempunyai arti bagi kehidupan ini….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar